Pedoman Umum Farmasi III

Penyerahan Obat ke PasienPenyerahan obat ke pasien oleh penyedia obat (dalam hal ini apoteker atau asisten apoteker) berperan penting dalam upaya agar pasien mengerti dan menggunakan obat secara benar seperti yang dianjurkan. Kekeliruan dalam penyediaan obat dan penyerahan obat ke pasien sering mengakibatkan kerugian bagi pasien. Apoteker atau tenaga kesehatan lain yang bertugas dalam penyediaan dan penyerahan obat adalah orang terakhir yang berhubungan dengan pasien atau keluarganya, sebelum obat digunakan. Oleh karena itu penting untuk selalu mengingat dan mengikuti proses penyediaan dan penyerahan obat secara benar (Good Dispensing Practice). Proses penyediaan dan penyerahan obat ke pasien mencakup kegiatan-kegiatan berikut:

about pharmacy4

  • Membaca dan mengerti isi resep. Perlu diteliti keabsahan resep, asal resep, nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis dan cara penggunaannya. Jika ada keraguan, konsultasikan dengan kolega lain atau tanyakan kepada dokter pembuat resep.
  • Menyediakan obat secara benar. Teliti ketersediaan obat, waktu kadaluwarsa, serta cermati bentuk dan kekuatan sediaan.
  • Menentukan jumlah obat. Menghitung jumlah tablet atau kapsul harus dilakukan dalam cawan yang bersih. Pengukuran sediaan cair harus memakai alat pengukur yang bersih, misalnya gelas ukur.
  • Mengemas dan memberi etiket. Obat harus diserahkan ke pasien dengan kemasan dan etiket berisi informasi yang lengkap dan tepat. Kemasan yang baik akan memberikan kesan yang baik terhadap pelayanan yang diberikan. Informasi yang jelas dan lengkap akan menghindari kekeliruan penggunaan. Informasi pada etiket harus lengkap memuat nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis serta frekuensi dan cara penggunaan. Nama pasien, tanggal serta identitas dan alamat apotik harus jelas. Nama obat sebaiknya tidak ditutup dengan etiket yang diberikan oleh apotik, karena konsumen berhak atas informasi obat yang dikonsumsinya.
  • Menyerahkan obat dan memberikan informasi. Pada waktu menyerahkan obat ke pasien atau keluarganya, informasi yang lengkap mengenai nama obat, kegunaan, efek yang diinginkan, efek yang tidak diinginkan yang harus diwaspadai dan bagaimana menghadapinya, dan juga efek yang tidak diinginkan namun tidak berbahaya, hal-hal yang harusdiperhatikan serta cara penggunaan obat harus diberikan. Informasi mengenai obat ini sebaiknya diberikan melalui proses konsultasi obat pada konsumen, yang memungkinkan adanya komunikasi dua arah antara apoteker dan konsumen. Pada akhir proses konsultasi ini, harus diyakini betul bahwa pasien menjadi tahu dan mengerti terhadap semua informasi obat yang akan dikonsumsinya. Hal ini akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk mengikuti anjuran pengobatan.
Interaksi ObatInteraksi obat adalah peristiwa di mana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini. Akibat yang tidak dikehendaki dari peristiwa interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatnya efek toksik atau efek samping obat atau berkurangnya efek klinis yang diharapkan. Mekanisme interaksi dapat dibagi menjadi:
  • Interaksi farmasetik
  • Interaksi farmakokinetik, dan
  • Interaksi farmakodinamik.
Interaksi farmasetik terjadi jika antara dua obat yang diberikan bersamaan tersebut terjadi inkompabilitas atau terjadi reaksi langsung, yang umumnya di luar tubuh dan berakibat berubahnya atau hilangnya efek farmakologis obat yang diberikan. Sebagai contoh, pencampuran penisilin dan aminoglikosida akan menyebabkan hilangnya efek farmakologik yang diharapkan.
Interaksi farmakokinetik terjadi jika perubahan efek obat terjadi dalam proses absorpsi, distribusi obat dalam tubuh, metabolisme, atau dalam proses ekskresi di ginjal. Interaksi dalam proses absorpsi terjadi jika absorpsi suatu obat dipengaruhi oleh obat lain. Misalnya, absorpsi tetrasiklin berkurang bila diberikan bersamaan dengan logam berat seperti kalsium, besi, magnesium atau aluminium, karena terjadi ikatan langsung antara molekul tetrasiklin dan logam-logam tersebut sehingga tidak dapat diabsorpsi. Interaksi dalam proses distribusi terjadi terutama bila obat-obat dengan ikatan protein yang lebih kuat menggusur obat-obat lain dengan ikatan protein yang lebih lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Akibatnya kadar obat bebas yang tergusur ini akan lebih tinggi pada darah dengan segala konsekuensinya, terutama terjadinya peningkatan efek toksik. Sebagai contoh, peningkatan efek toksik antikoagulan warfarin atau obat hipoglikemik (tolbutamid, klorpropamid) karena pemberian bersama dengan fenilbutason, sulfa atau asetosal. Interaksi dalam proses metabolisme terjadi kalau metabolisme suatu obat dipacu atau dihambat oleh obat lain. Ini akan mengakibatkan menurunnya atau meningkatnya kadar obat, dengan segala akibatnya. Obat-obat yang dikenal luas, sebagai pemacu metabolisme (enzyme inducer) termasuk rifampisin dan obat-obat antiepilepsi. Sedangkan obat yang dikenal sebagai penghambat metabolisme (enzyme inhibitor) misalnya simetidin, INH dan eritromisin. Obat-obat yang mengalami metabolisme di hati dapat dipengaruhi oleh obat-obat ini. Kasus kegagalan kontrasepsi sering dilaporkan pada pasien-pasien yang menggunakan kontrasepsi steroid dan pada saat bersamaan menjalani pengobatan dengan rifampisin, oleh karena menurunnya kadar steroid dalam darah. Interaksi dalam proses ekskresi terjadi kalau ekskresi suatu obat (melalui ginjal) dipengaruhi oleh obat lain. Contoh yang populer adalah penghambatan ekskresi penisilin oleh probenesid, berakibat meningkatnya kadar antibiotik dalam darah. Interaksi ini justru dimanfaatkan untuk meningkatkan kadar penisilin dalam darah.
Interaksi farmakodinamik terjadi di tingkat reseptor dan mengakibatkan berubahnya efek salah satu obat, yang bersifat sinergis bila efeknya menguatkan, atau antagonis bila efeknya saling mengurangi. Sebagai contoh adalah meningkatnya efek toksik glikosida jantung pada keadaan hipokalemia. Dokter harus selalu waspada terhadap kemungkinan interaksi jika memberikan dua obat atau lebih bersamaan apapun mekanismenya. Daftar interaksi yang bermakna secara klinis dapat dilihat pada Lampiran 1.
Obat untuk Penggunaan Khusus(Special Access Scheme / SAS)Pemasukan obat jalur khusus merupakan mekanisme pemasukan obat dalam jumlah terbatas untuk penggunaan terapi khusus yang dibutuhkan pasien, yang berdasarkan justifikasi ilmiah Dokter Penanggung Jawab, pasien menderita penyakit mengancam jiwa atau serius dan membutuhkan obat tersebut. Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1379.A/Menkes/SK/XI/2002 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Obat, Alat dan Makanan Kesehatan Khusus, yang dimaksud dengan obat, alat dan makanan kesehatan khusus adalah obat, alat dan makanan kesehatan yang belum mempunyai persetujuan izin edar di Indonesia namun dibutuhkan pasien berdasarkan justifikasi dokter.
Permohonan pemasukan obat penggunaan khusus berdasarkan justifikasi dokter untuk penggunaan pribadi dan keperluan donasi, dapat dilakukan oleh importir berdasarkan permintaan Dokter Penanggung Jawab. Permohonan pemasukannya diajukan ke Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI Berdasarkan pertimbangan bahwa obat untuk uji klinik merupakan satu kesatuan dalam konsep quality system uji klinik, obat penggunaan khusus yang tujuan penggunaanya untuk uji klinik dan pengembangan produk berkaitan dengan registrasi obat maka permohonannya diajukan ke Badan POM.
Narkotika dan PsikotropikaNarkotika dan psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Peresepan obat golongan ini harus diberi tanda tangan, tanggal pemberian dan alamat penulis resep obat (prescriber). Resep harus ditulis dengan tulisan tangan oleh dokter, yang mencantumkan: nama dan alamat pasien, bentuk dan kekuatan obat yang diberikan, total jumlah preparat atau jumlah unit dosis. Interval waktu pemberian harus dijelaskan, dan tidak diperbolehkan penggunaan resep berulang.
Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Daftar Narkotika golongan I dalam lampiran I telah ditambahkan sehingga menjadi sebagaimana tercantum pada lampiran Permenkes RI Nomor 13 Tahun 2014. Obat yang termasuk narkotika golongan I adalah tanaman Papaver somniferum L (kecuali bijinya), opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko), tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, tanaman ganja, tetrahidrocannabinol, delta-9-tetrahydro-cannabinol, asetorfina, acetil-alfa-metilfentanil, alfa-metilfentanil, alfa-metiltiofentanil, beta-hidroksifentanil, beta-hidroksi-3-metilfentanil, desomorfina, etorfina, heroina, ketobemidona, 3-metilfentanil, 3- metiltiofentanil, MPPP, para-fluorofentanil, PEPAP, tiofentanil, brolamfetamina (DOB), DET, DMA, DMHP, DMT, DOET, etisiklidina (PCE), etriptamina, katinona, (+)-lisergida (LSD, LSD-25), MDMA, meskalina, metkatinona, 4-metilaminoreks, MMDA, N-etil MDA, N-hidroksi MDA, paraheksil, PMA, psilosina, psilotsin, psilosibina, rolisiklidina (PHP, PCPY), STP, DOM, tenamfetamina (MDA), tenosiklidina (TCP), TMA, amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina, fensiklidina (PCP), levamfetamina, levometamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metakualon, zipepprol, sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan narkotik, 5-APB, 6-APB, 25B-NBOMe, 2-CB, 25C-NBOMe (2C-C-NBOMe), dimetilamfetamin (DMA), DOC, etkatinona, JWH-018, MDPV, mefedron (4-MMC), metilon, 4-Metilkatinona, MPHP, 251-NBOMe (2C-I-NBOMe), pentedrone, PMMA, XLR-11. 
Narkotika golongan II adalah Afasetilmetadol, Alfameprodina, Alfametadol, Alfaprodina, Alfentanil, Alilprodina, Anileridina, Benzetidin, Benzilmorfina, Betameprodina, Betametadol, Betaprodina, Betasetilmetadol, Bezitramida, Dekstramoramida, Diampromida, Dietiltiambutena, Difenoksilat, Difenoksin, Dihidromorfina, Dimetheptanol, Dimenoksadol, Dimetiltiambutena, Dioksafetil butirat, Dipipanona, Drotebanol, Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina,
Etilmetiltiambutena, Etokseridina, Etonitazena, Furetidina, Hidrokodona, Hidroksipetidina, Hidromorfinol, Hidromorfona, Isometadona, Fenadoksona, Fenampromida, Fenazosina, Fenomorfan, Fenoperidina, Fentanil, Klonitazena, Kodoksima, Levofenasilmorfan, Levomoramida, Levometorfan, Levorfanol, Metadona, Metadona intermediate, Metazosina, Metildesorfina, Metildihidromorfina, Metopon, Mirofina, Moramida intermediate, Morferidina, Morfina-N-oksida, Morfin metabromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya, termasuk bagian turunan Morfina-N-oksida, salah satunya Kodeina-N-oksida, Morfina Nikomorfina, Norasimetadol, Norlevorfanol, Normetadona, Normorfina, Norpipanona, Oksikodon, Oksimorfona, Petidina intermediat A, Petidina intermediat B, Petidina intermediat C, Petidina, Piminodin, Piritramida, Proheptasina, Properidina, Rasemetorfan, Rasemoramida, Rasemorfan, Sufentanil, Tebaina, Tebakon, Tilidina, Trimeperidina, bentuk garam dari narkotika yang telah disebutkan tadi.
Narkotika golongan III adalah asetildihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokodeina, etilmorfina, kodeina, nikodikodina, nikokodina, norkodeina, polkodina, propiram, buprenorfina, garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut di atas, campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika, campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, obat-obat yang termasuk golongan psikotropika golongan I adalah brolamfetamina, etisiklidina, etriptamina, katinon, (+)-lisergida, metkatinon, psikosibina, rolisiklidina, tenamfetamina, tenosiklidina. Psikotropika golongan II adalah amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina, fensiklidina, levamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metakualon, metilfenidat, sekobarbital, zipepprol. Psikotropika golongan III adalah amobarbital, buprenorfina, butalbital, glutetimida, katina, pentazosina, pentobarbital, siklobarbital. Psikotropika golongan IV adalah allobarbital, alprazolam, amfepramona, aminorex, barbital, benzfetamina, bromazepam, brotizolam, delorazepam, diazepam, estazolam, etil amfetamina, etil loflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamina, fendimetrazina, fenobarbital, fenproporeks, fentermina, fludiazepam, flurazepam, halazepam, haloksazolam, kamazepam, ketazolam, klobazam, kloksazolam, klonazepam, klorazepat, klordiazepoksida, klotiazepam, lefetamina, loprazolam, lorazepam, lo rmetazepam, mazindol, medazepam, mefenoreks, meprobamat, mesokarb, metilfenobarbital, metiprilon, midazolam, nimetazepam, nitrazepam, nordazepam, oksazepam, oksazolam, pemolina, pinazepam, pipradol, pirovalerona, prazepam, sekbutabarbital, temazepam, tetrazepam, triazolam, vinilbital.
Selain narkotika dan psikotropika, prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.
Reaksi Obat yang MerugikanPada beberapa obat dapat terjadi reaksi yang tidak diinginkan. Dokter dan apoteker sangat perlu mendeteksi dan mencatat terjadinya reaksi ini. Kecurigaan adanya reaksi silang pada bahan terapetik tertentu harus dilaporkan, meliputi obat (baik obat self medication maupun diresepkan), produk darah, vaksin, media kontras, X-ray, material gigi atau bedak, alat-alat intrauterin, produk herbal, dan cairan lensa kontak. Pelaporan ini mencakup semua reaksi serius yang dicurigai, baik yang berakibat fatal, mengancam nyawa, menyebabkan ketidakmampuan, menurunkan kapasitas hidup, ataupun memperlama perawatan di rumah sakit.
Obat-Obat dan Vaksin yang TersediaDokter, dokter gigi, coroners (penyidik penyebab kematian), apoteker dan perawat diminta untuk melaporkan semua reaksi serius yang dicurigai termasuk yang fatal, mengancam nyawa, melumpuhkan, atau mengakibatkan perpanjangan perawatan. Mereka harus melaporkan meskipun efek sudah dikenal dengan baik. Contoh meliputi: anafilaksis, gangguan darah, gangguan endokrin, efek terhadap kesuburan, pedarahan, kerusakan ginjal, jaundice, kerusakan mata, efek pada sistim saraf pusat yang berat, reaksi pada kulit yang parah, reaksi terhadap wanita hamil, dan interaksi obat lainnya.
Laporan efek samping yang serius diperlukan untuk membandingkan suatu obat dengan obat lain dalam kelas terapi yang sama. Laporan overdosis (sengaja atau tidak sengaja) dapat mempersulit penilaian dari efek samping obat yang tidak diinginkan, tetapi merupakan informasi penting pada potensi toksik dari obat.
Untuk obat yang profil keamanannya sudah diketahui dengan baik tidak perlu dilaporkan, efek samping yang bahayanya relatif kecil seperti mulut kering dengan anti depresan trisiklik atau konstipasi dengan opioid tidak perlu dimasukan dalam pelaporan.
Masalah KhususEfek obat yang tertunda.
Beberapa reaksi (misalnya kanker, retinopati klorokuin, dan fibrosis retroperitoneal) terjadi/muncul beberapa bulan atau tahun setelah pemberian. Bila ada kecurigaan harus dilaporkan. Pada lansia, dokter perlu mengawasi terjadinya reaksi ini karena risikonya lebih besar.
Jika bayi lahir dengan abnormalitas kongenital atau pada kasus abortus dengan malformasi, dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan sebagai reaksi obat dan perlu mencatat seluruh riwayat pengobatan selama hamil termasuk self medication.
Untuk anak diperlukan pemantauan khusus untuk mengidentifikasi dan melaporkan reaksi yang tidak diinginkan, termasuk yang disebabkan oleh penggunaan obat-obat yang tidak disetujui (off-label); semua reaksi yang dicurigai harus dilaporkan.
Pencegahan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan ini meliputi:
  • Jangan gunakan obat jika indikasinya tidak jelas. Jika pasien dalam kondisi hamil, jangan gunakan obat kecuali benar-benar dibutuhkan.
  • Alergi dan idiosinkrasi merupakan sebab penting terjadinya reaksi ini. Pasien perlu ditanyakan adanya riwayat reaksi sebelumnya.
  • Tanyakan pada pasien apakah sedang mengkonsumsi obat lain, termasuk self medication, karena bisa terjadi interaksi obat.
  • Umur dan penyakit hati atau renal memperlambat metabolisme dan eksresi sehingga dibutuhkan dosis yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan variasi kecepatan metabolisme, khususnya isoniazid dan anti depresan.
  • Resepkan obat sesedikit mungkin dan beri petunjuk yang jelas, terutama pada lanjut usia dan pasien yang nampaknya sulit mengerti instruksi yang diberikan.
  • Jika mungkin gunakan obat-obat yang sudah dikenal. Jika menggunakan obat baru, harus diperingatkan terhadap efek samping atau kejadian yang tidak diharapkan.
  • Jika kemungkinan terjadinya reaksi pada pasien cukup serius perlu untuk memperingatkan pasien.
Pemantauan keamanan penggunaan obat dilakukan melalui program Monitoring Efek Samping Obat (MESO) karena beberapa jenis efek samping yang tidak terdeteksi pada tahap pengembangan obat dapat timbul setelah penggunaan obat secara luas pada jangka waktu lama. Di Indonesia, Program MESO
dimulai sejak tahun 1975, dan dicanangkan pada tahun 1981. Tujuan utama program MESO Nasional ini adalah mendeteksi sedini mungkin setiap kemungkinan timbulnya efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi di Indonesia, untuk mencegah kejadian efek samping serupa secara luas. Dengan pelaksanaan MESO diharapkan akan diperoleh informasi baru mengenai efek samping obat (ESO), tingkat kegawatan serta frekuensi kejadiannya, sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Dalam program MESO Nasional, digunakan pelaporan secara sukarela (voluntary reporting) bagi tenaga kesehatan dan wajib bagi industri farmasi. Pemilihan metode ini karena merupakan sistem yang relatif sedikit membutuhkan biaya dan bila terlaksana dengan baik cukup efektif untuk pengumpulan laporan ESO dari profesi kesehatan. Keuntungan lain dari sistem ini adalah kemungkinan dapat menemukan ESO yang jarang terjadi, fatal atau gawat. Disamping itu kualitas laporan ESO cukup objektif karena tidak dikaitkan dengan suatu kewajiban atau biaya. Namun kelemahan sistem pelaporan secara sukarela ini adalah bergantung pada peran aktif dokter, dokter gigi, apoteker dan tenaga kesehatan lain, dan tenaga kesehatan tersebut di Rumah Sakit pada khususnya sebagai sumber yang potensial dalam pelaporan ESO.
Secara fungsional pusat MESO Nasional berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
Untuk pelaksanaan MESO, dibentuk Panitia MESO Nasional yang bertugas untuk menilai laporan ESO yang diterima, menganalisis data hasil evaluasi, dan memberikan rekomendasi tindak lanjut yang perlu dilakukan. Dalam penyelenggaraan MESO, Pusat MESO Nasional bekerjasama dengan WHO Collaborating Center for International Drug Monitoring. Dalam kerjasama ini, Pusat MESO Nasional secara teratur menerima informasi mengenai MESO dari WHO dan juga memberikan masukan kepada WHO. Formulir laporan MESO tersedia di Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan
PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan. Selain MESO, Badan POM juga memonitor efek samping obat tradisional; efek samping suplemen makanan dan efek samping kosmetik dengan menggunakan Formulir Monitoring Efek Samping Obat Tradisional MESOT), Formulir Monitoring Efek Samping Suplemen Makanan (MESOSM) dan Formulir Monitoring Efek Samping Kosmetik (MESK)
Formulir laporan monitoring kategori produk tersebut di atas dapat diperoleh Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan

Sumber : Pio Nas BPOM

0 Response to "Pedoman Umum Farmasi III"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2